Sabtu, 15 Desember 2012

PANTASKAH KITA MASUK SYURGA


... PANTASKAH KITA MASUK
SYURGA? ...
Sholat dhuha cuma dua rakaat,
qiyamullail (tahajjud) juga hanya
dua rakaat, itu pun sambil
terkantuk-kantuk.
Sholat lima waktu? Sudahlah
jarang di masjid, milih ayatnya
yang pendek-pendek saja agar
lekas seles
ai. Tanpa doa, dan segala macam
puji untuk Allah, terlipatlah
sajadah yang belum lama tergelar
itu.
Lupa pula dengan sholat rawatib
sebelum maupun sesudah shalat
wajib. Satu lagi, semua di atas itu
belum termasuk catatan: "Kalau
tidak terlambat" atau "Asal nggak
bangun kesiangan". Dengan
sholat model begini, apa pantas
mengaku ahli ibadah?
Padahal Rasulullah dan para
sahabat senantiasa mengisi
malam-malamnya dengan derai
tangis memohon ampunan
kepada Allah. Tak jarang kaki-kaki
mereka bengkak oleh karena
terlalu lama berdiri dalam
khusyuknya.
Kalimat-kalimat pujian dan pinta
tersusun indah seraya berharap
Allah Yang Maha Mendengar mau
mendengarkan keluh mereka.
Ketika adzan berkumandang,
segera para sahabat
meninggalkan semua aktivitas
menuju sumber panggilan,
kemudian waktu demi waktu
mereka habiskan untuk
bersimpuh di atas sajadah-
sajadah penuh tetesan air mata.
Baca Qur'an sesempatnya, itu pun
tanpa memahami arti dan
maknanya, apalagi meresapi
hikmah yang terkandung di
dalamnya. Ayat-ayat yang
mengalir dari lidah ini tak sedikit
pun membuat dada ini bergetar,
padahal tanda-tanda orang
beriman itu adalah ketika
dibacakan ayat-ayat Allah maka
tergetarlah hatinya. Hanya satu
dua lembar ayat yang sempat
dibaca sehari, itu pun tidak rutin.
Kadang lupa, kadang sibuk,
kadang malas. Yang begini ngaku
beriman?
Tidak sedikit dari sahabat
Rasulullah yang menahan nafas
mereka untuk meredam getar
yang menderu saat membaca
ayat-ayat Allah. Sesekali mereka
terhenti, tak melanjutkan
bacaannya ketika mencoba
menggali makna terdalam dari
sebaris kalimat Allah yang baru
saja dibacanya. Tak jarang mereka
hiasi mushaf di tangan mereka
dengan tetes air mata. Setiap tetes
yang akan menjadi saksi di
hadapan Allah bahwa mereka
jatuh karena lidah-lidah indah
yang melafazkan ayat-ayat Allah
dengan pemahaman dan
pengamalan tertinggi.
Bersedekah jarang, begitu juga
infak. Kalau pun ada, dipilih mata
uang terkecil yang ada di dompet.
Syukur-syukur kalau ada receh.
Berbuat baik terhadap sesama
juga jarang, paling-paling kalau
sedang ada kegiatan bakti sosial,
yah hitung-hitung ikut
meramaikan. Sudah lah jarang
beramal, amal yang paling mudah
pun masih pelit, senyum. Apa sih
susahnya senyum? Kalau sudah
seperti ini, apa pantas berharap
Kebaikan dan Kasih Allah?
Rasulullah adalah manusia yang
paling dirindui, senyum indahnya,
tutur lembutnya, belai kasih dan
perhatiannya, juga pembelaannya
bukan semata milik Khadijah,
Aisyah, dan istri-istri beliau yang
lain. Juga bukan semata teruntuk
Fatimah dan anak-anak Rasulullah
lainnya. Ia senantiasa penuh kasih
dan tulus terhadap semua yang
dijumpainya, bahkan kepada
musuhnya sekali pun. Ia juga
mengajarkan para sahabat untuk
berlomba beramal shaleh, berbuat
kebaikan sebanyak-banyaknya
dan sebaik-baiknya.
Setiap hari ribut dengan tetangga.
Kalau bukan sebelah kanan, ya
tetangga sebelah kiri. Seringkali
masalahnya cuma soal sepele dan
remeh temeh, tapi permusuhan
bisa berlangsung berhari-hari,
kalau perlu ditambah sumpah
tujuh turunan. Waktu demi waktu
dihabiskan untuk
menggunjingkan aib dan
kejelekan saudara sendiri. Detik
demi detik dada ini terus jengkel
setiap kali melihat keberhasilan
orang dan berharap orang lain
celaka atau mendapatkan
bencana. Sudah sedemikian
pekatkah hati yang tertanam
dalam dada ini? Adakah pantas
hati yang seperti ini bertemu
dengan Allah dan Rasulullah
kelak?
Wajah indah Allah dijanjikan akan
diperlihatkan hanya kepada
orang-orang beriman yang masuk
ke dalam surga Allah kelak. Tentu
saja mereka yang berkesempatan
hanyalah para pemilik wajah
indah pula. Tak inginkah kita
menjadi bagian kelompok yang
dicintai Allah itu? Lalu kenapa
masih terus bermuka masam
terhadap saudara sendiri?
Dengan adik tidak akur, kepada
kakak tidak hormat. Terhadap
orang tua kurang ajar, sering
membantah, sering membuat
kesal hati mereka, apalah lagi
mendoakan mereka, mungkin
tidak pernah. Padahal mereka tak
butuh apa pun selain sikap ramah
penuh kasih dari anak-anak yang
telah mereka besarkan dengan
segenap cinta. Cinta yang berhias
peluh, air mata, juga darah.
Orang-orang seperti kita ini, apa
pantas berharap surga Allah?
Dari ridha orang tua lah, ridha
Allah diraih. Kaki mulia ibu lah
yang disebut-sebut tempat kita
merengkuh surga. Bukankah
Rasulullah yang sejak kecil tak
beribu memerintahkan untuk
berbakti kepada ibu, bahkan tiga
kali beliau menyebut nama ibu
sebelum kemudian nama Ayah?
Bukankah seharusnya kita lebih
bersyukur saat masih bisa
mendapati tangan lembut untuk
dikecup, kaki mulia tempat
bersimpuh, dan wajah teduh yang
teramat hangat dan
menyejukkan? Karena begitu
banyak orang-orang yang tak lagi
mendapatkan kesempatan itu.
Ataukah harus menunggu Allah
memanggil orang-orang terkasih
itu hingga kita baru merasa
benar-benar membutuhkan
kehadiran mereka?
Jangan tunggu penyesalan.!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar